Pages

Tuesday, March 12, 2019

KEBENARAN YANG TIDAK DAPAT DIFALSIFIKASI


KEBENARAN YANG TIDAK DAPAT DIFALSIFIKASI
Risa Kurnia, Greacella Alda, Samik
Abstrak
Lakatos membedakan antara sains dan pseudo-sains, melalui penelaahan kembali pernyataan-pernyataan dan postulat-postulat yang telah dihasilkan sebelumnya oleh Popper dan Kuhn. Lakatos menawarkan demarkasi tersebut dengan cara membedakan antara kemajuan program riset di satu sisi dan memburuknya kemajuan program riset di sisi lainnya, sebagai indikator demarkasinya. Bagi Lakatos, tidak semua objek dapat difalsifikasikan ala Popper; begitupun tidak semua objek harus memiliki metodologi, agar dapat menjelaskan apakah itu masuk dalam kategori ilmiah atau tidak ilmiah ala Kuhn. Di pihak Karl Popper (1920) pernah mengajukan pendapat, bahwa suatu teori disebut ilmiah bila sudah diuji (testable). Sebuah tesis, baru dianggap ilmiah bila sudah dihadapkan pada berbagai pengujian yang mencoba menyangkal (falsifikasi) kebenaran tesis tersebut. Apabila suatu tesis tetap bertahan terhadap penyangkalan tersebut, kebenaran semakin kokoh. Semakin besar penyangkalan, semakin kokoh kebenaran ilmiahnya sehingga Popper menyebutnya “thethesisofrefutability”. Untuk semua pernyataan ilmiah harus ada kemungkinan untuk dikritik, sebab hanya melalui proses dialektis, ilmu pengetahuan akan maju. Karena itu, pengetahuan yang salah pun mempunyai andil dalam proses kemajuan ilmu (Widagdo, 2005). Bagi Popper, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan lainnya tidak berkembang karena suatu induksi, melainkan terus-menerus terbuka akan azas pemalsuan/penyangkalan (falsifikasi). Ilmu pengetahuan hanya suatu hipotesis, dan selama hipotesis itu berpeluang dengan kesalahan, maka ilmu akan berkembang dan disempurnakan
Kata kunci : sains, pseudo sains, falsifikasi, hipotesis





Berbicara mengenai fakta – fakta dalam memperkuat kesan bobot keilmuan, sebenarnya dapat dikategorikan ke dalam fakta – fakta yang tangible / teraga dan intangibel / tak teraga. Di dunia agama langitan, samawi, wahyu manapun itu , justru hal hal misteri atau gaib, hikmah atau intangible yang banyak berperan ketimbang fakta tangible. Digambarkan oleh Lakatos dalam kejatuhan teori Newton pada avad ini yang membuat para ilmuan menyadari bahwa standar kejujuran merwka adalah Utophia. Sebelum Einstein, kebanyakan ilmuan berpikir bahwa Newton telah menguraikan hukum – hukum tuhan yang utama dengan pembuktian yang berasal dari fakta – fakta.
Ampere pada awal abad 19, merasa harus menarik bukunya yang berspekulasitentang elektromagnetik yaitu percobaan mengenai Fenomena Teori Matematis Elektrodinamika secara tegas diperkecil. Tetapu pada akhir volume buku tersebut dia dengan santai mengaku bahwa ada beberapa percobaan yang tidak pernah dilakukan dan bahkan bahwa instrumen yang diperlukanpun belum ia bangun. Dengan kata lain semuanya fakta – fakta positif itu selalu mendukung para filsuf. Kebanyakan mereka mengalami kebuntuhan, keanehan yang tidak bisa dihelaskan dengan fakta tangible.
Kelebihan ilmu – ilmu positif itu hanyalah terletak bobot kepastiannya. Namun kepastian itu harus dilihat hanya sebagai hasil dari sistem pengukurannya yang memanv serba dipastikan dari keterbukaannya pada kritik maupun diskusi publik.Sedangkan penerimaannya atau penilaiannya atas suatu model pengukuran dan kritik korektif publik dalam kenyataan tidaklah berdasarkan kenyataan empiris murni juga. Namun bercampur – campur dengan paradigma atau sistem logika yang digunakan, maupun kesepakatan dikalangan komunitas elite ilmuan. Jadi kepastian ilmu politik dalam konsekuensinya tidak sedemikian pasti.  Pada akhirnya, falsifikasi hanyalah sebuah metode yang ditawarkan untuk mendapat pengakuan keilmuan. Ia amat sewenang – wenang tatkala disisipkan strategi untuk mengalahkan kebenaran yang sebenarnya lebih nyata dan lebih ilmiah. Baik karena tidak sesuai trek – trek frame falsifikasi sehingga dinamai pseudo sains? Padahal Popper juga sudah menyerah dengan situasi bahwa tidak semua sains dapat di falsifikasi. Jadi tidak ada yang absolut atau mutlak selain pergeseran, dinamika, kemutlakan, atas peran fungsi waktu. Dalam beberapa waktu terakhir, Lakatos telah menganjurkan suatu metodologi program riset ilmiah, untuk memecahkan beberapa masalah yang gagal diselesaikan oleh Papper dan Khun.
            Model Lakatos untuk keluar dari kebuntuhan demokrasi sains dan pseudo sains yang buntu/ambigu/bunglon versi Popper dan Khun. Menyebabkan Lakatos bertumpu pada kekuatan proses progres riset. Baik buru , benar salah, itu biasa, namun proses sebagai alat bedahnya tidak boleh ambigu. Ia harus lantang, clear – cut, mengurai objek riset hingga menghasilkan postulat – postulat baru, biarpun anomali. Dengan demikian demokrasi sains dan pseudo sains, menurut lakatos adalah terletak pada proses kekuatan analitis, penggalian hingga kepada subtil – subtil permasalahan inti. Namun masih bisa menerima dan menyambut anomali – anomali sebagai perbendafharaan visi.

Kesimpulan
Jadi sains itu sadar, proses, dan argumentatif. Sedangkan pseudo sains teletak pada taklis (menerima laksana sebagai wahyu) tak mau mengitu alur sebagai riset yang amat bersih dan dingin. Pseudo sains hanyalah pemaksaan dari fakta – fakta yang ada, yang padahal didunia ini banyak sekali fakta yang tidak membuktikan apapun.
Referensi
Harun Nasrudin dkk. 2012. Sains Dasar. Surabaya : UNESA UNIVERSITY PRESS
Tasmuji dkk. 2013.Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu budaya Dasar.                   Surabaya: UIN Sunan Ampel Press
Yan yansunarya.2013. Pembeda sains dan pseudo sains bagi lakatos
Widagdo,2005,desain dan kebudayaan, Bandung: penerbit ITB



0 comments:

Post a Comment