KEBENARAN YANG TIDAK DAPAT DIFALSIFIKASI
Risa Kurnia, Greacella Alda, Samik
Abstrak
Lakatos membedakan antara sains dan pseudo-sains, melalui
penelaahan kembali pernyataan-pernyataan dan postulat-postulat yang telah
dihasilkan sebelumnya oleh Popper dan Kuhn. Lakatos menawarkan demarkasi
tersebut dengan cara membedakan antara kemajuan program riset di satu sisi dan
memburuknya kemajuan program riset di sisi lainnya, sebagai indikator
demarkasinya. Bagi Lakatos, tidak semua objek dapat difalsifikasikan ala
Popper; begitupun tidak semua objek harus memiliki metodologi, agar dapat
menjelaskan apakah itu masuk dalam kategori ilmiah atau tidak ilmiah ala Kuhn.
Di pihak Karl Popper (1920) pernah mengajukan pendapat, bahwa suatu teori
disebut ilmiah bila sudah diuji (testable). Sebuah tesis, baru dianggap ilmiah
bila sudah dihadapkan pada berbagai pengujian yang mencoba menyangkal
(falsifikasi) kebenaran tesis tersebut. Apabila suatu tesis tetap bertahan
terhadap penyangkalan tersebut, kebenaran semakin kokoh. Semakin besar
penyangkalan, semakin kokoh kebenaran ilmiahnya sehingga Popper menyebutnya
“thethesisofrefutability”. Untuk semua pernyataan ilmiah harus ada kemungkinan
untuk dikritik, sebab hanya melalui proses dialektis, ilmu pengetahuan akan
maju. Karena itu, pengetahuan yang salah pun mempunyai andil dalam proses
kemajuan ilmu (Widagdo, 2005). Bagi Popper, ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan lainnya tidak berkembang karena suatu induksi, melainkan
terus-menerus terbuka akan azas pemalsuan/penyangkalan (falsifikasi). Ilmu
pengetahuan hanya suatu hipotesis, dan selama hipotesis itu berpeluang dengan
kesalahan, maka ilmu akan berkembang dan disempurnakan
Kata kunci :
sains, pseudo sains, falsifikasi, hipotesis
Berbicara
mengenai fakta – fakta dalam memperkuat kesan bobot keilmuan, sebenarnya dapat
dikategorikan ke dalam fakta – fakta yang tangible / teraga dan intangibel /
tak teraga. Di dunia agama langitan, samawi, wahyu manapun itu , justru hal hal
misteri atau gaib, hikmah atau intangible yang banyak berperan ketimbang fakta
tangible. Digambarkan oleh Lakatos dalam kejatuhan teori Newton pada avad ini
yang membuat para ilmuan menyadari bahwa standar kejujuran merwka adalah
Utophia. Sebelum Einstein, kebanyakan ilmuan berpikir bahwa Newton telah menguraikan
hukum – hukum tuhan yang utama dengan pembuktian yang berasal dari fakta –
fakta.
Ampere
pada awal abad 19, merasa harus menarik bukunya yang berspekulasitentang
elektromagnetik yaitu percobaan mengenai Fenomena Teori Matematis
Elektrodinamika secara tegas diperkecil. Tetapu pada akhir volume buku tersebut
dia dengan santai mengaku bahwa ada beberapa percobaan yang tidak pernah
dilakukan dan bahkan bahwa instrumen yang diperlukanpun belum ia bangun. Dengan
kata lain semuanya fakta – fakta positif itu selalu mendukung para filsuf.
Kebanyakan mereka mengalami kebuntuhan, keanehan yang tidak bisa dihelaskan
dengan fakta tangible.
Kelebihan
ilmu – ilmu positif itu hanyalah terletak bobot kepastiannya. Namun kepastian
itu harus dilihat hanya sebagai hasil dari sistem pengukurannya yang memanv
serba dipastikan dari keterbukaannya pada kritik maupun diskusi
publik.Sedangkan penerimaannya atau penilaiannya atas suatu model pengukuran
dan kritik korektif publik dalam kenyataan tidaklah berdasarkan kenyataan
empiris murni juga. Namun bercampur – campur dengan paradigma atau sistem
logika yang digunakan, maupun kesepakatan dikalangan komunitas elite ilmuan.
Jadi kepastian ilmu politik dalam konsekuensinya tidak sedemikian pasti. Pada akhirnya, falsifikasi hanyalah sebuah
metode yang ditawarkan untuk mendapat pengakuan keilmuan. Ia amat sewenang –
wenang tatkala disisipkan strategi untuk mengalahkan kebenaran yang sebenarnya
lebih nyata dan lebih ilmiah. Baik karena tidak sesuai trek – trek frame
falsifikasi sehingga dinamai pseudo sains? Padahal Popper juga sudah menyerah
dengan situasi bahwa tidak semua sains dapat di falsifikasi. Jadi tidak ada
yang absolut atau mutlak selain pergeseran, dinamika, kemutlakan, atas peran
fungsi waktu. Dalam beberapa waktu terakhir, Lakatos telah menganjurkan suatu
metodologi program riset ilmiah, untuk memecahkan beberapa masalah yang gagal
diselesaikan oleh Papper dan Khun.
Model Lakatos untuk keluar dari
kebuntuhan demokrasi sains dan pseudo sains yang buntu/ambigu/bunglon versi
Popper dan Khun. Menyebabkan Lakatos bertumpu pada kekuatan proses progres
riset. Baik buru , benar salah, itu biasa, namun proses sebagai alat bedahnya
tidak boleh ambigu. Ia harus lantang, clear – cut, mengurai objek riset hingga
menghasilkan postulat – postulat baru, biarpun anomali. Dengan demikian
demokrasi sains dan pseudo sains, menurut lakatos adalah terletak pada proses
kekuatan analitis, penggalian hingga kepada subtil – subtil permasalahan inti.
Namun masih bisa menerima dan menyambut anomali – anomali sebagai
perbendafharaan visi.
Kesimpulan
Jadi
sains itu sadar, proses, dan argumentatif. Sedangkan pseudo sains teletak pada
taklis (menerima laksana sebagai wahyu) tak mau mengitu alur sebagai riset yang
amat bersih dan dingin. Pseudo sains hanyalah pemaksaan dari fakta – fakta yang
ada, yang padahal didunia ini banyak sekali fakta yang tidak membuktikan
apapun.
Referensi
Harun Nasrudin dkk. 2012. Sains Dasar.
Surabaya : UNESA UNIVERSITY PRESS
Tasmuji dkk. 2013.Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu
budaya Dasar. Surabaya:
UIN Sunan Ampel Press
Yan yansunarya.2013. Pembeda sains dan pseudo sains bagi lakatos
Widagdo,2005,desain
dan kebudayaan, Bandung: penerbit ITB
0 comments:
Post a Comment