IMPLEMENTASI
JALUR HIJAU ( GREEN BELT ) SEBAGAI
KONTROL AKIBAT GAS BUANG KENDARAAN BERMOTO
Rera Puspa Algatha, Moh. Akbar F,
Samik S.Si M.Si
ABSTRAK
Udara
adalah factor penting dalam kehidupan. Namun, di era modern, sejalan dengan perkembangan
pembangunan fisik kota dan pusat industry serta berkembangnya transportasi,
telah menyebabkan kualitas udara mengalami
perubahan. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor berpotensi
meningkatkan pencemaran udara terutama di jalan-jalan .Untuk mengurangi semakin tingginya bahan pencemar
yang dihasilkan kendaraan bermotor, perlu adanya pohon-pohon yang berfungsi sebagai
penyerap bahan pencemar dan debu di udara yang dihasilkan kendaraan bermotor.
Salah satu solusi alternatif permasalahan ini adalah pengembangan area jalur hijau
(green belt area). Green belt adalah pemisah fisik daerah perkotaan
dan pedesaan yang berupa zona bebas bangunan atau ruang terbuka hijau yang
berada di sekeliling luar daerah perkotaan. Tujuannya adalah dapat menjadi
kontrol solusi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan, analisa penyebab
kurangnya area jalur hijau (green belt
area) di perkotaan dan Smart Green Land merupakan salah
satuinovasikonsep RTH yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan sebagai tempat
yang nyaman melalui penyediaan fasilitas penunjang sehingga tercipta kenyamanan
dan kesegaran, bagaimana pengembangannya guna menekan polusi udara sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan dari sudut pandang lingkungan.
(Kata
kunci: polusiudara, transportasi, Green
belt area)
ISI
Pertumbuhan
aktivitas ekonomi dan urbanisasi yang cukup tinggi baik diperkotaan dan
subperkotaan berpotensi besar dalam peningkatan penggunaan konsumsi energi,
seperti pada kebutuhan bahan bakar pembangkit tenaga listrik ,tungku – tungku
dan Transpotasi. Pembakaran bahan ini merupakan sumber – sumber pencemar utama
yang dilepaskan ke udara, seperti Cox, NOx, Sox, SPM (suspended particulate matter), Ox dan berbagai logam berat. Kementerian
Lingkungan Hidup menyebutkan, polusi udara dari kendaraan bermotor bensin (spark
ignition engine) menyumbang 70 persen karbon monoksida (CO), 100
persenplumbum (Pb), 60 persen hidrokarbon (HC), dan 60 persen oksida nitrogen
(NOx). Bahkan, beberapa daerah yang tinggi kepadatan lalu lintasnya menunjukkan
bahan pencemar seperti Pb, ozon (O), dan CO telah melampaui ambang batas yang
ditetapkan dalam PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Pembangunan
kota sering lebih banyak dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang
lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Gejala pembangunan kota
pada saat ini mempunyai kecenderungan untuk meminimalkan ruang terbuka hijau
dan juga menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan bertumbuhan banyak dialih fungsikan
menjadi pertokoan, pemukiman, tempat rekreasi, industry dan lain-lain (N.
Dahlan, 2004).
Dalaminformasi
yang diberikan WHO ( World Health
Organization) ialahAmbient air
pollution accounts for an estimated 4.2 million deaths per year due to stroke,
heart disease, lung cancer and chronic respiratory diseases. Around 91% of the
world’s population lives in places where air quality levels exceed WHO limits.
While ambient air pollution affects developed and developing countries alike,
low- and middle-income countries experience the highest burden, with the
greatest toll in the WHO Western Pacific and South-East Asia regions. Policies
and investments supporting cleaner transport, energy-efficient housing, power
generation, industry and better municipal waste management can effectively
reduce key sources of ambient air pollution.
Untuk mengurangi semakin tingginya bahan pencemar
yang dihasilkan kendaraan bermotor, perlu adanya pohon-pohon yang berfungsi sebagai
penyerap dan penjerap bahan pencemar dan debu di udara yang dihasilkan kendaraan
bermotor. Pohonseringdisebut-sebut sebagai paru-parukota. Sejumlah pohon berdaun
lebar diyakini dapat menjerap bahan-bahan pencemar udara. Sel-sel daun berfungsi
menangkap karbondioksida dan timbal untuk kemudian diolah dalam system fotosintesis.
Proses fotosintesis mampu mengubah karbondioksida (CO2) yang dikeluarkan dari
system pernapasan menjadi oksigen yang dibutuhkan paru-paru. Disamping pohon-pohon
yang mampu menjerap polutan, tanaman pisang hias, puring, batavia dan bugenvil
juga dapat direkomendasikan untuk elemen taman kota karena toleran dan cukup toleran terhadap polutan (Nugrahani dan
Sukartiningrum 2008).
Tekanan
terhadap green belt area (jalurhijau) disebabkan oleh pertumbuhan penggunaan lahan
yang meningkat cepat sehingga terjadi konversi lahan di green belt area menjadi
kawasan terbangun. Kurangnya green belt area akan mempengaruhi kualitas hidup manusia
diperkotaan khususnya yang berhubungan dengan peningkatan polusi udara. Green
belt atau jalur hijau adalah pemisah fisik daerah perkotaan dan pedesaan yang
berupa zona bebas bangunan atau ruang terbuka hijau yang berada di
sekelilingluarkawasanperkotaanatau daerah pusat aktifitas kegiatan yang
menimbulkan polusi (Anggraeni, 2005).
Vegetasi
atau komunitas tumbuhan yang tersedia di alam, merupakan solusi yang paling
menjanjikan untuk mengatasi pencemaran udara. Oleh karenaitu, melakukan aksi penghijauan
harus segera dilakukan agar pencemaran udara tidak semakin parah. Semua tumbuhan
hijauakan mengubah gas CO2 menjadi O2 melalui proses fontosistesis. Namun selain
berhijau daun, pemilihan jenis tanaman penghijauan seyogyanya juga
mempertimbangkan fungsinya sebagai peneduh yang dapat memperbaiki iklim mikro,
dan juga dapat berfungsi sebagai barrier penahan terhadap penyebaran pulusi udara
dari kendaraan. Tanaman peneduh merupakan tanaman yang ditanam sebagai tanaman penghijauan.
Adapun tanaman peneduh yang ditanam di pinggir jalan raya selain berfungsi sebagai
penyerapun surpencemar secara kimiawi, juga berfungsi sebagai peredam suara baik
kualitatif maupun kuantitatif (Anatari dan Sundra, 2002).
Manfaat
dari adanya tajuk vegetasi di green belt area adalah menjadikan udara yang
lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa
tajuk dari hutan kota. Disinilah peranan green belt untuk kesehatan masyarakat perkotaan,
khususnya untuk atau sebagai pengendali pencemaran atau polusi udara. Selain kesehatan,
masyarakat juga berhak dan memerlukankehidupansosial yang baik yang dapat terpenuhi
dengan adanya green belt yang berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat
perkotaan.
·
Penyebab Gejala Kurangnya Green Belt
Area di Kawasan Perkotaan.
Goldmisth et al,
1967 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan kendaraan bermotor (transportasi)
merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan.
Selanjutnya Krishnayya et al, 1986 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan diperkirakan
sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor.
Kebutuhan manusia untuk bekerja dipenuhi dengan mekanisme industrialisasi yang
meningkatkanpertumbuhanekonominamun pada sisi lain jelas meningkatkan tingkat polusi.
Penyebab kurangnya luasan green belt area di kota-kota besarsecara general
adalah (Bae et al. 2003) :
1)
industrialisasi, 2) urbanisasi, 3) pembangunanekonomi yang tidak terencana dengan
baik;
4) tidak adanya mekanisme
control yang baik untuk mempertahankan green belt area, serta ;
5)
dayadukunglingkungan yang sudahberkurangmemperburukkondisiperkotaan.
·
Upaya Green Belt Development sebagai
Usaha untukMenurunkan Tingkat Polusi dan MeningkatkanKualitasHidup Masyarakat
Perkotaan.
Usaha untuk menurunkan
tingkat polusi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah dengan upaya
green belt development. Green belt development merupakan solusi yang tepat karena
secara ekonomi dan teknologi layak dikembangkan. Upaya ini dibagi menjadi 2
solusi yaitu berdasarkan parameter biofisik dan sosial ekonomi. Parameter
biofisik yang dimaksud disini adalah bagaimana pengembangan green belt yang
ideal dan bermanfaat optimum untuk suatu kota dari segi spesies tanaman, tinggi
tanaman, lebar green belt dan jarak green belt dari pusat pencemar.
KESIMPULAN
Simpulan yang
dapat ditarik dari pembahasan mengenai Implementasi jalur hijau ( Green belt area )sebagai kontrol akibat gas buang kendaraan
bermotor ialah Pengembangan Green bel tmerupakan cara yang tepat untuk mengontrol
polusi, green belt development yang
optimal untuk menekan polusi udara. Kurangnya green belt area akan mempengaruhi kualitas hidup manusia diperkotaan
khususnya yang berhubungan dengan peningkatan polusi udara. Maka dari itu dibutuhkannya
jalur hijau (Green belt area) guna mengontrol polusi udara yang disebabkan
salah satunya ialah kendaraan bermotor, dengan adanya Green belt area diharapkan polusi udara akan lebih baik dan
peningkatan gejala mengenai polusi udara yang ada didunia akan berkurang.
REFERENSI
§ Nasrudin,
Harun dkk. 2012. Sains Dasar,
Surabaya. UnesaUnivercity Express
§ Anggraeni,
Mustika. 2005. Green Belt dan HubungannyadenganKualitasHidup Masyarakat diPerkotaan,
MakalahBiologiLingkungan, Program StudiIlmuLingkungan, Prog. Pascasarjana Univ.
Gadjah Mada, Yogyakarta
§ Endes N. Dahlan,
2004, Hutan Kota UntukPengelolaan dan PeningkatanKualitasLingkunganHidup, Fak.
Kehutanan, IPB, Bogor
§ Shannigrahi,
A.S., T. Fukushima, and R.C. Sharma. 2003. Air pollution control by optimal
green belt development around The Victoria Memorial Monument, Kolkata (India).
Journal Environment Studies Vol. 60,
§ Suparwoko dan
Firdaus. (2007). ProfilPencemaran Udara Kawasan Perkotaan Yogyakarta:
StudiKasus di Kawasan Malioboro, Kridosono, dan UGM Yogyakarta. Jurnal LOGIKA,
4 (2): 54- 63.
§ Riani D. (2010).
Kotornya Udara Semarang. Suara Merdeka, 16 Januari 2011.
§ Kusminingrum N
dan Gunawan. (2008). Polusi Udara AkibatAktivitasKendaraanBermotor di Jalan
PerkotaanPulauJawa dan Bali. JurnalJalan-Jembatan25 (3): 314-326.
REVIEW
Tanggal
Diberikan : 6 Maret 2019
Tanggal
Dikembalikan : 15 Maret 2019
Saran : Judul
dan isi materi jelas tapi gambar kurang paham karena
Menggunkan
Bahasa inggris
0 comments:
Post a Comment