RELASI EPISTEMIK HEGEMONI POLITIK BARAT
TERHADAP
KONFLIK SURIAH
Sri, Nur, Samik
Nasionalisme di Timur Tengah hingga saat ini
belum mampu menimbulkan suasana damai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini melahirkan tesis bahwa Nasionalisme yang berkembang di sana sebenarnya
tidak lepas dari pengaruh atau bahkan sketsa Eropa Barat untuk memecah belah
kekuatan dunia Islam. Kolonialisme yang menghegemoni Timur Tengah mendorong
lahirnya Nasionalisme. Turbulensi politik di Suriah dimulai sejak Maret 2011
yang ditandatangani oleh eksistensi. Tulisan tangan di dinding sekolah oleh 15 siswa
berusia 9-15 tahun di kota kecil, Deraaa, Suriah Tenggara berbatasan dengan
Jeddah. Tulisan tersebut mengatakan “Shaab Yoreed Eskaat al nizami” atau
masyarakat ingin rezim jatuh. Jendral Atef Najib, sepupu Presiden Bashar al
Assad mengajak dan memenjarakan para siswa ini. Akibatnya, protes menuntut
kebebasan anak dan kebutuhan akan kebebasan masyarakat tidak bisa dihindari
pemberontakan meluas. Turbulensi di Suriah telah dilakukan selama 20 bulan
dengan sekitar 36.000 korban jiwa, 20.000 luka-luka, dan 100.000 menjadi
pengungsi di berbagai negara
Isi
Suriah (Syria), secara resmi bernama Republik
Arab Suriah, adalah sebuah negara yang terletak di wilayah Asia Barat. Di
sebelah barat Suriah berbatasan dengan Lebanon dan Laut Mediterania. Di sebelah
utara, Suriah berbatasan dengan Turki, sedangkan di Timur berbatasan
dengan Yordania Selatan, dan Israel. Ibu
kota Suriah adalah Damaskus.
Hafez Al-Assad menjadi Presiden Suriah pada 22 Februari 1971, dan berkuasa sampai Juni 2000. Kekuasaannya yang lebih dari 30 tahun menjadikan Hafez Al-Assad sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Timur Tengah. Sistem pemerintahan presidensil merupakan sistem pemerintahan dimana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dari kekuasaan legislatif, hal ini memudahkan Hafez Al-Assad untuk mencalonkan penerusnya melalui partai Ba’ath. Sistem parlemen Suriah bernama majilis al-Shaab terdiri dari 250 kursi. Setiap anggota dipilih lewat pemilu untuk masa bakti 4 tahun.
Bashar Al-Assad
Hafez Al-Assad telah mempersiapkan anak
lelakinya, Basil Al-Assad, untuk menjadi presiden, namun ia meninggal dalam
kecelakaan mobil pada tahun 1994, sehingga ditunjuklah Bashar Al-Assad sebagai
pengganti Hafez Al-Assad yang kala itu sedang berada di London. Setelah kembali
ke Suriah, Bashar Al-Assad dilatih secara bertahap agar siap menggantikan
ayahnya sebagai presiden. Tahap pertama, dibangunlah sebuah kekuasaan dukungan
di bidang militer dan perlindungan. Kedua, image Bashar Al-Assad diperbarui dan
diperkuat di depan publik. Ketiga, Bashar Al-Assad diperkenalkan lebih mendalam
dengan mekanisme untuk mengatur negara.
Naiknya Bashar Al-Assad Menjadi Presiden
A. Sekilas Mengenai Bashar Al-Assad
Lahir
di Damaskus pada tanggal 11 September 1965, Bashar Al-Assad adalah putra kedua
dari mantan Presiden Suriah Hafez Al-Assad dan istrinya Anisa. Bashar Al-Assad
dididik di Arab-French Al Hurriya School Damaskus untuk fasih berbahasa Inggris
dan Prancis. Bashar Al-Assad lulus dari sekolah tinggi pada tahun 1982 dan
melanjutkan studi kedokteran di Universitas Damaskus, lulus pada tahun 1988.
Bashar Al-Assad melakukan residensi di Tishreen Military Hospital luar kota
Damaskus, dan kemudian berpindah ke Western Eye Hospital di London, Inggris
pada tahun 1992.
Bashar Al-Assad dan keluarganya
secara madzhab menganut Syiah, namun Syiah yang berbeda dengan Syiah Iran.
Bashar Al-Assad bukanlah pendukung dari konsep Wilayatul Fakih atau
pemerintahan ulama di Iran. Bashar Al-Assad berpandangan hidup dan politik sekuler
ala Barat. Fakta ini juga diperkuat bahwa di sekelilingnya terdapat banyak
ulama Sunni yang mendukung kepemimpinannya. Belum lagi bahwa mayoritas pasukan
Suriah adalah Sunni dan bukan Syiah.
B.Karir Sebelum Menjadi Presiden
Usaha
untuk memperkenalkan Bashar Al-Assad kepada jajaran Partai Ba’ath, militer dan
rakyat Suriah terus dilakukan. Pada tahun 1997, wajah Bashar Al-Assad sudah
mulai muncul di poster-poster yang dipasang dimana-mana. Jika Basil Al-Assad di
sebut sebagai “The Example”, Bashar Al-Assad disebut sebagai “The Future”.
Pemindahan kekuasaan dari Hafez Al-Assad kepada putranya berjalan dengan
lancar. Untuk memudahkan rencana tersebut, Hafez Al-Assad merubah konstitusi
mengenai batas minimal seseorang untuk menjadi presiden yaitu minimal 34 tahun
agar Bashar Al-Assad bisa segera menduduki jabatan sebagai presiden.
Di
hari pelaksanaan referendum, Minggu 10 Juli 2000, rakyat Suriah memberikan
suara di 11.185 tempat pemungutan suara yang tersebar di seluruh pelosok
negeri. pada hari Selasa, 12 Juli 2000 menteri Dalam Negeri (demisioner)
Mohammed Herba mengumumkan hasil referendum bahwa pemenangnya adalah Bashar
Al-Assad dengan rincian 8.931.623 suara yang masuk dan dinyatakan sah sebanyak
97,29 persen. Sebanyak 22.439 suara tidak memilih Bashar Al-Assad, dan 219.313
suara dinyatakan rusak dan tidak sah. Dengan terpilihya Bashar Al-Assad sebagai
presiden, maka dia masuk dalam barisan generasi baru pemimpin Timur Tengah.
Selain masih muda, Bashar Al-Assad juga pernah mengenyam pendidikan Barat,
sehingga hal itu membuat perbedaan antara kepemimpinannya dengan sang ayah
yakni Hafez Al-Assad.
C.Bashar Al-Assad Menjadi Presiden
Bashar
Al-Assad secara resmi dilantik menjadi presiden pada 17 Juli 2000 untuk masa
jabatan 7 tahun. Ketika dilantik sebagai presiden, Bashar Al-Assad berjanji
untuk menjadikan Suriah lebih modern dan demokratis. Dalam situs resminya,
Bashar Al-Assad mengatakan akan membangun zona perdagangan bebas, mengizinkan
lebih banyak koran swasta, dan juga Universitas swasta serta memberantas
korupsi dan pemborosan keuangan yang dilakukan pemerintah.
Pada
pertengahan 2001, Juru bicara pemerintahan dan Bashar Al-Assad sendiri
serta-merta menggambarkan kaum reformis sebagai agen Barat yang hanya bermaksud
untuk menggerogoti stabilitas internal Suriah dari dalam, untuk kepentingan
musuh-musuh negara. Eyal Zisser menulis, pemerintahan yang berkuasa
memerintahkan agar forum-forum yang bermunculan di Suriah ditutup. Bahkan,
sejumlah aktivis dari kubu reformis yang bersuara lantang mengkritik pemerintahan
yang berkuasa untuk dipenjara.
Pembakaran diri oleh Mohammed Bouazizi
The Arab Spring (kebangkitan Arab) atau
dengan istilah lain Revolusi Melati merupakan
rangkaian protes yang berawal dari peristiwa di Tunisia pada 17 Desember 2010,
yakni peristiwa pembakaran diri yang dilakukan oleh Mohammed Bouazizi sebagai
protes atas korupsi dan kesewenangan sikap pemerintah Tunisia. Protes Tunisia
kemudian menginspirasi gelombang kebangkitan yang menjalar ke Aljazair,
Yordania, Mesir, Yaman, dan kemudian ke negara-negara lain.
Konflik Suriah Pada Masa Pemerintahan Bashar Al-Assad
A.Faktor-faktor Pemicu Konflik Suriah
1.Kesenjangan Ekonomi
Juni 2000 Jean Shaoul dan Chris Marsden
menyebutkan perekonomian Suriah dalam
masa kesulitan diantaranya, produksi minyak turun menjadi 400,000 barel per
hari, Suriah kesulitan menjalankan pelayanan publik karena mengalami krisis,
angka kelahiran tinggi dan pendapatan perkapita menurun.Suriah dari tahun ke
tahun terus mengalami penurunan dalam bidang ekonomi. Ditambah dengan utang
luar negeri yang terus membengkak.
Produksi
minyak per hari pada tahun 2010 tinggal 85.000 barrel, Padahal hasil ekspor
minyak memberikan sumbangan sekitar seperempat dari pendapatan negara. Kondisi
tersebut membuat perekonomian Suriah menjadi tidak stabil.
Perubahan iklim yang
ekstrim sepuluh tahun belakangan juga mengakibatkan Suriah dan negara Timur
Tengah semakin kering. Hal tersebut tentu berpengaruh terhadap sektor pertanian
yang menghasilkan 20% GDP Suriah. Karena semakin buruknya kondisi perekonomian
maka muncullah ketidakpuasan terhadap Pemerintahan mulai dari kelompok ekonomi
yang terpinggirkan.
2. Kebijakan Militer
Semasa
masih berkuasa, Hafez Al-Assad merupakan tokoh yang pantas diperhitungkan dalam
percaturan politik di Timur Tengah.Hafez Al-Assad sangat menentang hegemoni
Amerika dan Eropa serta pendudukan Israel. Hafez Al-Assad selalu berjuang baik
dalam medan pertempuran maupun di meja perundingan untuk memulihkan hak-hak
bangsa Arab, menghadapi agresi dan pendudukan Israel, konspirasi serta
propaganda yang dilakukan zionis.
Sejak
awal 1980an, Hafez Al-Assad mencanangkan kebijakan Suriah dalam konflik
Arab-Israel yaitu kekuatan militer Suriah harus terus dibangun sampai mampu
mengimbangi kekuatan militer Israel sekalipun tanpa bantuan dari negara-negara
Arab lain.
Pada
tahun 1985, Hafez Al-Assad mengucurkan dana sebesar 3,5 milyar dolar AS atau
35% dari anggaran belanja negara guna membangun sektor pertahanan. Itu belum
termasuk pinjaman senilai 15 milyar dolar AS dari negara-negara Blok Soviet
yang sebagian besar berbentuk bantuan alat-alat persenjataan. Setahun kemudian
1986, anggaran sektor pertahanan dinaikkan menjadi 56% dari seluruh APBN. Pada
tahun 1988 Hafez Al-Assad juga membeli sejumlah peluru kendali jarak menengah dari
RRC. Ada kesan bahwa pemerintah Suriah hanya ingin memajukan sektor militer
saja karena anggaran belanja Suriah untuk mendanai kebutuhan pasukan militer
sangat tinggi.
3. Sunni-Syiah
Konflik Sunni-Syiah yang berkepanjangan turut mewarnai
politik kawasan Timur Tengah. Konflik Suriah tidak terlepas dari campur tangan
di balik layar antara Amerika Serikat dan sekutunya yang mayoritas negara Sunni
seperti Arab Saudi, Turki, Qatar melawan Rusia yang didukung China dan Iran.
Kedua pihak (Amerika dan Rusia) gencar mengirimkan bantuan berupa uang, alat
persenjataan, pelatihan militer.
Dr. Taufiq Al-Buthi seorang ulama Suriah dalam wawancaranya dengan LiputanIslam.com dapat disimpulkan, Ada tiga target utama dari konflik yang melanda Suriah sekarang. Pertama, menghancurkan Suriah. Kedua, mendistorsi dan mencoreng wajah Islam di mata dunia sebagai agama yang menyeramkan sekaligus menakutkan agar mereka menjauh dari risalah ini. Ketiga, menghabisi umat Islam di Eropa. Biarkan Muslim Eropa berjihad ke Suriah, ratusan bahkan ribuan dan biarkan mereka meninggal di Suriah. Konflik yang terjadi di Suriah bukan konflik sekterian dan agama yang membenturkan antara Sunni dan Syiah atau Muslim dan Non Muslim. Perang Suriah nyatanya tidak melibatkan sesama warga Suriah asli sama sekali. Tetapi konflik ini di setting agar melibatkan warga sesama Suriah.
Pergolakan politik di Suriah dimulai sejak
Maret 2011 ditandai dengan adanya
coretan tulisan pada tembok sekolah oleh
15 orang pelajar berusia antara 9 – 15 tahun di kota kecil Deraa,
sebelah Tenggara Suriah yang berbatasan dengan Yordania. Anak-anak ini
kemungkinan terinspirasi oleh pergolakan di Tunisia yang menyebabkan Presiden
Zainal Abidin bin Ali turun pada 14 Januari 2011, dan pergolakan Mesir yang
mengakibatkan jatuhnya Presiden Hosni Mubarok pada 1 Februari 2011. Tulisan
ditembok kurang lebih berbunyi As Shaab Yoreed Eskaat al nizami atau rakyat
menginginkan rezim turun. Selanjutnya polisi Suriah yang dipimpin oleh Jendral
Atef Najib, sepupu Presiden Bashir al Assad
menangkap dan memanjarakan anak-anak ini. Akibatnya, gelombang protes yang menuntut pembebasan anak – anak tersebut
dan tuntutan kebebasan rakyat tidak dapat dihindari. Reaksi tentara yang
berlebihan dengan cara menambaki demonstran yang mengakibatkan 4 orang
meninggal tidak meredakan pembrontakan justru sebaliknya pembrontakan semakin
meluas dari Deraa menuju kota–kota pinggiran Latakia dan Banyas di Pantai
Mediterania atau laut Tengah, Homs, Ar Rasta, dan Hama di Suriah Barat, serta
Deir es Zor di Suriah Timur.
Ketika tulisan ini dibuat pergolakan di
Suriah sudah memasuki bulan ke-20 tanpa ada tanda-tanda akan berhenti dengan
segera. Komunitas internasional mulai bertanya-tanya mengapa sampai sedemikian
lama, dan benarkah Presiden Bashar al Assad yang meskipun seorang militer
tetapi merupakan seorang dokter mata
tega membunuh rakyatnya sendiri? Tulisan ini akan mendiskusikan masa
depan Suriah atas dasar kenyataan bahwa sudah kurang lebih 36.000 orang
terbunuh, 28.000 orang hilang, dan 100.000 orang menjadi pengungsi di berbagai
negara tetangga, suatu jumlah yang tidak dapat dikatakan sedikit mengingat
jumlah penduduk Suriah hanya sekitar 22,5 juta orang. Masih adakah kemungkinan
dibangkitkan kembali Persatuan Arab atau Pan-Arabisme yang pernah dipelopori
oleh Suriah, juga persatuan Islam atau Pan- Islamisme karena 74 % penduduk
Suriah merupakan Muslim Sunni, dan 10 % Muslim Alawi.
Pan Arabisme pernah menyatu-kan negara-negara
Arab dengan terbentuknya Liga Arab di tahun 1945, dan dalam menghadapi Israel pada perang 1948,
1967, dan 1973. Suriah dengan penduduk 90,03% beretnik Arab sejak awal
kemerdeka-annya telah menunjukkan kesetiaan atau nasionalime Arab. Sedangkan
Pan-Islamisme pernah menyatukan negara-negara Islam ketika Masjidil Aqsa
dibakar oleh seorang Yahudi, sehingga
negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam berhasil membentuk Organisasi Konferensi
Islam (OKI) pada tahun 1969.
Jika Pan – Arabisme dan pan – Islamisme gagal
sebagai landasan untuk mengatasi masalah
Suriah, tidak dapat dihindari masa depan Suriah akan sangat tergantung pada
komunitas internasional yaitu negara-negara yang memiliki hak Veto dalam Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) khususnya Amerika Serikat, Rusia, dan
Cina. Campur tangan asing dalam masalah Suriah sudah nampak sejak terbentuknya Dewan Nasional Suriah (Syrian
National Council/SNC). Dapatkah Dewan ini menggantikan rezim Bashar al Assad ?,
masih merupakan pertanyaan besar mengingat Dewan Nasional Suriah ini masih
mengandung potensi perpecahan yang tinggi.
Masa depan juga akan tergantung pada kesiapan
para pengambil alih kekuasaan yang dalam hal ini disebut sebagai oposisi yaitu
politisi Muslim Sunni yang selama ini melawan pemerintahan rezim Basyar al
Assad, Ikhwanul Muslimun Suriah yang pernah dibantai oleh Presiden Suriah Hafez al Assad pada tahun 1982, Partai-Partai yang berhaluan
Sosialis, atau keluarga Hafes al Assad yaitu Rafaat Assad, adik Hafes al Assad
atau Fawwaz al Assad, sepupu Hafes al Assad yang berperan dalam pembantaian Ikhwanul
Muslimin di tahun 1982. Kemungkinan lain yaitu Abdul Halim Khadam yang
merupakan seorang Muslim Sunni yang paling bisa bekerjasama dan setia pada
Hafez al Assad, pernah menjadi Mentri Luar Negeri (1970 – 1984), Wakil Presiden
(1984 – 2005), dan Presiden dalam masa transisi setelah Hafes al Assad
meninggal (10 Juni – 17 Juli 2000) .
Abdul Halim Khadam kemudian diasingkan oleh Bashar al Assad karena dianggap
membahaya-kan kekuasaan Bashar. Di
pengasingan Khadam membentuk oposisi yang dikenal sebagai “National Salvation
Front in Syria” (NSFS) atau Front Penyelamatan Nasional Suriah yang dikhabarkan
menerima bantuan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Mereka ini merasa lebih
berhak menggantikan Bashar al Assad.
Solusi Konflik Suriah
Berbagai cara dilakukan
PBB untuk menyelesaikan konflik di Suriah, diantaranya embargo ekspor-impor
barang di Suriah, pembekuan aset, hingga pengutusan mantan sekjen PBB Kofi
Annan untuk membawa proposal damai, namun upaya tersebut belum membuahkan hasil
yang signifikan demi terciptanya perdamaian di Suriah.
Perbedaan pendapat
berkaitan dengan nasib presiden Bashar Al-Assad terus menjadi perbedabatan.
Amerika Serikat, Arab Saudi dan Turki menyerukan penghapusan Bashar Al-Assad
dari sistem politik Suriah, akan tetapi ketiga negara juga berselisih tentang
kehadiran Bashar Al-Assad dalam konferensi yang dilakukan oleh PBB. Amerika
Serikat dan Turki tidak menentang partisipasinya dalam konferensi, tapi Arab
Saudi menolak gagasan itu dan menganggap Bashar Al-Assad tidak bisa menjadi
bagian dari proses politik Suriah.
Dampak Konflik
Syrian Center for
Policy Research merilis data terbaru korban perang Suriah selama lima tahun
telah merenggut 470 ribu nyawa. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari
perkiraan sebelumnya. The Guardian melaporkan ekspektasi hidup di Suriah turun
menjadi 55, 4 tahun. Sebelum konflik hidup warga Suriah rata-rata diperkirakan
bisa mencapai 70 tahun.Konflik Suriah mengakibatkan kota-kota bersejarah
menjadi hancur. Aleppo yang merupakan salah satu kota bersejarah terbesar
Suriah telah hancur, kompleks Masjid Umayyah yang kuno dan sangat terkenal
telah dihancurkan. Hampir semua tempat Warisan Dunia Suriah versi Badan
Pelestarian Budaya PBB (UNESCO) telah rusak. Termasuk di kota sebelah utara Aleppo,
kota kuno Bosra di selatan, salah satu istana abad pertengahan yang paling
penting dilestarikan di dunia Crac des Chevaliers serta situs arkeologi
Palmyra.
Kesimpulan
Meletusnya Arab
Spring menjadi puncak ketidakpuasan rakyat Suriah atas Pemerintahan yang
berkuasa. Berawal dari demonstrasi kecil-kecilan, sekarang Suriah menjadi medan
pertempuran oleh berbagai kalangan. Suriah menjadi negara yang mengerikan
dimana korban berjatuhan mencapai ratusan ribu jiwa.
Suriah menjadi medan pertempuran
antara pihak pro Pemerintahan yang didukung oleh Rusia, Iran dan China
sedangkan oposisi didukung oleh Amerika Serikat, Arab Saudi, dan negara Eropa
lainnya. Negara-negara tersebut aktif memberikan bantuan berupa uang,
persenjataan, maupun tentaranya guna mengalahkan satu sama lain. keterlibatan
negara lain dalam konflik Suriah bukan tanpa alasan, mereka berpartisipasi
karena ada berbagai kepentingan di dalamnya.
Konflik Suriah
setidaknya telah berjalan selama 7 tahun. Rakyat Suriah banyak yang memilih
mengungsi baik di dalam maupun di luar negeri. PBB sebagai polisi dunia
beberapa kali mengadakan pertemuan dan menyelenggarakan konferensi untuk masa
depan Suriah, tetapi sampai saat ini belum ditemukan jalan keluar.
Situasi Suriah memang
membingungkan, semua pihak terlibat konflik beraneka segi, pasukan pemerintah
mengklaim bahwa oposisi adalah teroris begitu juga sebaliknya. Pasukan oposisi
menganggap bahwa Bashar Al-Assad adalah teroris yang membantai ribuan bahkan
ratusan orang.
Daftar Pustaka
K.H.Sidqon Maesur,
Lc., M.A., Arifuddin, Lc., M.A., Eva Farhah Nasihun, S.S., M.A., Dr. Mahmud
Hamzawi Fahim Usman, Lc., M.A. (Penerjemah Kedubes Saudi Arabia di Jakarta),
Siti Muslifah, SS., M.Hum. 2012. Masalah Agama, Budaya, Sosial dan Politik
Timur Tengah. Jurnal Study Timur Tengah. Vol
V, Hal 1-125
Mohmmad Arifullah Ashaf. 2016. Akar Epistemik Hegemoni
Politik Barat Terhadap Naasionalisme Di Timur Tengah. Jurnal Penelitian Social Keagamaan. Vol 24. Hal 225-250
Sulistio Hermawan.
2016. Konflik Pada Masaa Bashar Al-Assad Tahun 2011-2015. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyakarta.
UNESA, TIM FMIPA
2012. Sains Dasar. Surabaya: Unesa University Press
REVIEWER
Reviewer
1 : Nur Aida Wisprianti / 16040254041
Tanggal
diberikan : 21 Maret 2018
Tanggal
dikembalikan : 23 Maret 2018
Saran:
Pada
artikel RELASI EPISTEMIK HEGEMONI POLITIK BARAT
TERHADAP
KONFLIK SURIAH masih terdapat penulisan yang kurang
rapi. Kemudian pada paragraf ke 20 terdapat kutipan "Tulisan ini akan mendiskusikan masa depan
Suriah atas dasar kenyataan..." maka pembaca akan berfikir akan
terdapat pembahasan mengenai solusi, namun dalam tulisan ini tidak terdapat
solusi yang disuguhkan untuk permasalahan Suriah.
Kemudian
pada paragaraf selanjutnya yang membahas Dewan Nasional Suriah dikatakan bahwa
dewan tersebut memiliki potensi perpecahan yang tinggi, namun tidak dijelaskan
faktor - faktor yang dapat mempengaruhi perpecahan. Lebih baik jika terdapat
pembahasan mengenai faktor yang mempengaruhi terjadinya perpecahan.
Paragraf
selanjutnya yang membahas mengenai aktor yang berpeluang mengkudeta kekuasaan
Basyar Al-Assad terdapat kutipan "Ikhwanul Muslimun Suriah yang pernah dibantai oleh Presiden Suriah Hafez al Assad pada tahun 1982 ...".
Kutipan ini berpotensi menimbulkan pertanyaan pada pembaca, dikarenakan
disebutkan "ikhwanul muslimin yang pernah dibantai" kata
"dibantai" berarti bahwa pembunuhan secara kejam dengan korban lebih
dari seorang. Sehingga kemungkinan pembaca akan menafsirkan jamaah ikhwanul
muslimin telah menjadi korban pembantaian. Sehingga timbul pertanyaan, siapa
yang melakukan kudeta, jika ikhwanul muslimin telah menjadi korban pembantaian.
Oleh karena itu, akan lebih jelas jika ditambahkan kata "keturunan"
didepan ikhwanul muslimin. Maka yang akan melakukan kudeta adalah keturunan
dari ikhwanul muslimin. Selain itu, akan lebih baik jika disebutkan peristiwa
penyebab pembantaian yang dilakukan oleh Hafeez Al-Assad.
0 comments:
Post a Comment